Gunung Argopuro terletak di kabupaten Situbondo, kabupaten Probolinggo, kabupaten Jember dan kabupaten Bondowoso Jawa Timur membentuk pegunungan HYANG . Diantara ± 14 puncak di jajaran pegunungan HYANG, Puncak Gunung Argopuro adalah puncak yang tertinggi ( 3088 MDPL ). Memiliki berbagai jenis Fauna Endemik yang hhas. Contohnya : Lutung Merah ( Presbytis Rubicunda ), Lutung Jawa, Merak Hijau ( Pavo Mulicus ), Kijang ( Muntiacus Muntjah ), dan Babi hutan.

Berawal dari rute panjang (track favorit pendaki), yaitu desa Baderan. Perjalanan dimulai dengan menempuh perjalanan sekitar 5 jam untuk sampai ke pos pertama saya, yaitu Mata Air 1. Perjalanan melewati track bebatuan dan tanjakan yang cukup menguras tenaga tak membuat saya putus asa karena di pos Mata Air 1, saya disuguhi oleh segarnya sumber mata air yang mampu mengobati dahaga selama 3 jam perjalanan menuju pos 1.

Di pos 1 saya memutuskan untuk bermalam karena hari mulai petang. Bermodalkan sopan dan santun saya menyapa rombongan pendaki dari Jakarta yang telah terlebih dahulu bermalam di pos 1. Mereka ternyata sudah 2 hari bermalam di pos 1 karena merasa nyaman dengan kondisi di pos 1.

Malam itu angin bertiup kencang diiringi hamburan abu vulkanik G.Bromo yang ternyata sampai ke daerah Argopuro. Pagi harinya atap tenda dipenuhi dengan abu vulkanik tebal. Tak jadi masalah, setelah sarapan dan meneguk segelas kopi dan beberapa batang rokok, perjalanan pun harus dilanjutkan.

Pos Mata Air 2 terletak 5 km dari Pos Mata Air 1. Saya mampu menempuhnya dengan waktu 1 jam perjalanan. Dengan track yang lebih menanjak dan sedikit licin akibat kabut yang kemudian menetes melalui pucuk-pucuk daun cemara.  Di pos 2 saya bertemu dengan sekelompok masyarakat lokal yang beristirahat. Mereka adalah orang-orang yang datang ke G.Argopuro untuk mencari rupiah. Mereka membawa beberapa karung selada air yang kemudian akan dijual ke Besuki. Menurut mereka sekarung selada air dihargai Rp.100.000,- .  Biasanya satu orang mampu membawa 2 sampai 4 karung sekali perjalanan ( 1 hari ).

Mereka dahulunya ternyata adalah pemburu Babi Hutan dan Kijang. Mereka beralih profesi karena mereka mulai sadar akan pentingnya melindungi hewan-hewan yang semakibn langka tersebut. Menurut mereka, mereka telah mendapat penyuluhan dari POLHUT setempat agar tidak lagi berburu ataupun menebang hutan sembarangan mengingat kejadian tanah longsor yang sering terjadi beberapa tahun silam yang menimpa Kab.Situbondo.

Perjalan berlanjut menuju Alun-alun kecil melewati daerah cemara panjang. Cemara panjang ialah jalan menuju Alun-alun kecil dimana Cemara Panjang terletak di punggungan pegunungan. Sesampai di Alun-alun kecil yang juga merupakan padang Savana, saya kembali melepas lelah sambil menikmati indahnya padang savana ini dengan latar belakang langit merah karena tebalnya abu vulkanik Bromo yang terbawa hingga Argopuro.

tanda arah pendakian

Setelah alun-alun kecil kini saatnya menuju Alun-alun besar atau Cikarus (si Kasur). Perjalanan menuju Cikasur dari Alun-alun kecil sekitar 2 jam. Perjalanan ini dimulai dengan menyusuri alun-alun kecil hingga mendaki Jambangan dan kemudian akan berkali-kali kita akan memasuki hutan dan savana secara bergantian hingga akhirnya sampai di Alun-alun Besar a.k.a Cikasur.

Sebelum benar-benar menginjakan kaki di Cikasur, kita harus melewati sungai Qolbu atau bisa juga berputar melewati lereng diatas sungai tersebut. Saya memutuskan untuk menyebrangi sungai tersebut untuk mengambil air minum. Ternyata masyarakat lokal yang saya temui tadi mengambil selada air itu juga disini. Potensi alam yang sulit untuk habis. Begitu banyak selada air yang menutupi aliran sungai Qolbu, sehingga dari kejauhan tak tampak jika disitu ada aliran sungai. Benar jika masyarakat memanfaatkannya sebagai mata pencaharian mereka. Mereka tak perlu modal besar, karena modal terbesar mereka adalah kesehatan yang prima untuk mencapai Cikasur.

Setelah mengambil air dan sedikit mengambil selada air untuk dimasak sebagai campuran mie instant. Saya mencari tempat untuk beristirahat dan memasak untuk makan siang. Mengagumkan melihat hamparan luas Cikasur ini. Saya memang tak sempat menjumpai Merak, tetapi saya menemukan bulu ekor Merak yang jatuh. Ketika selesai menyantap makanan yang lezat dan sehat (mie instant dan Selada Air), saya mencoba menjelajah Cikasur dan mulai mencari sisa-sisa bekas landasan pesawat terbang. Ternyata didekat tempat saya beristirahat terdapat fondasi bangunan yang konon bangunan tersebut adalah bekas bangunan milik Tuan Ladebour (jaman Belanda). Bangunan tersebut dahulunya adalah bungalow.

Bangunan ex bungalow

 

Menurut narasumber yang saat itu menemani saya, bangunan tersebut awalnya masih kokoh hingga akhirnya tinggal fondasinya karena dijarah oleh masyarakat sekitar. Menurutnya, dibekas landasan pesawat terbang itu dulu juga ada bangkai pesawat terbang perintis dan akhirnya hilang dijarah. Kondisi sosial masyarakat yang belum mengerti akan pentingnya peninggalan masa lalu ini membuat keberadaan Cagar Budaya di Argopuro ini terancam.

Ada banyak peninggalan bersejarah yang masih tersimpan dan belum terkuak di gunung yang cukup mistis ini. Di Puncak Rengganis terdapat bangunan candi yang konon dahulu adalah bekas kerajaan Dewi rengganis. Candi ini berupa tempat pemujaan yang terbuat dai bebatuan. Masih banyak misteri akan gunung Argopuro yang belum terkuak. Gunung yang telah berstatus gunung non-aktif ini, beberapa bulan lalu telah ditemukan kawah baru diselatan puncak Rengganis. (bern™)

@ cikasur